Thursday, September 14, 2006

Al Ustadz Ahmad Izzah

Al-Ustadz Ahmad Izzah

semoga bermanfa'at. ...

Suatu sore, ditahun 1525. Penjara tempat tahanan orang-orang di situ serasa hening
mencengkam. Jendral Adolf Roberto, pemimpin penjara yang terkenal bengis, tengah
memeriksa setiap kamar tahanan.
Setiap sipir penjara membungkukkan badannya rendah-rendah ketika 'algojo penjara' itu
berlalu di hadapan mereka. Karena kalau tidak, sepatu 'jenggel' milik tuan Roberto yang
fanatik Kristen itu akan mendarat di wajah mereka.
Roberto marah besar ketika dari sebuah kamar tahanan terdengar seseorang
mengumandangkan suara-suara yang amat ia benci. "Hai...hentikan suara jelekmu!
Hentikan...! " Teriak Roberto sekeras-kerasnya sembari membelalakan mata. Namun, apa
yang terjadi? Laki-laki di kamar tahanan tadi tetap saja bersenandung dengan
khusyu'nya. Roberto bertambah berang.
'Algojo penjara' itu menghampiri kamar tahanan yang luasnya tak lebih sekadar cukup
untuk satu orang. Dengan congkak ia menyemburkan ludahnya ke wajah renta sang tahanan
yang keriput hanya tinggal tulang. Tak puas sampai di situ, ia lalu menyulut wajah dan
seluruh badan orang tua renta itu dengan rokoknya yang menyala.
Sungguh ajaib... Tak terdengar secuil pun keluh kesakitan. Bibir yang pucat kering
milik sang tahanan amat gengsi untuk meneriakkan kata, "Rabbi, waana'abduka. .."
Tahanan lain yang menyaksikan kebiadaban itu serentak bertakbir sambil berkata,
"Bersabarlah wahai ustadz...Insya Allah tempatmu di Syurga."
Melihat kegigihan orang tua yang dipanggil ustadz oleh sesama tahanan, 'algojo penjara'
itu bertambah memuncak amarahnya. Ia memerintahkan pegawai penjara untuk membuka sel,
dan ditariknya tubuh orang tua itu keras-keras hingga terjerembab di lantai. "Hai orang
tua busuk! Bukankah engkau tahu, aku tidak suka bahasa jelekmu itu?! Aku tidak suka
apa-apa yang berhubung dengan agamamu!Ketahuilah orang tua dungu, bumi Spanyol ini kini telah berada dalam kekuasaan bapak
kami, Tuhan Yesus. Anda telah membuat aku benci dan geram dengan 'suara-suara' yang
seharusnya tak pernah terdengar lagi di sini. Sebagai balasannya engkau akan kubunuh.
Kecuali, kalau engkau mau minta maaf dan masuk agama kami."
Mendengar "khutbah" itu orang tua itu mendongakkan kepala, menatap Roberto dengan
tatapan tajam dan dingin. Ia lalu berucap, "Sungguh...aku sangat merindukan kematian,
agar aku segera dapat menjumpai kekasihku yang amat kucintai, Allah. Bila kini aku
berada di puncak kebahagiaan karena akan segera menemuiNya, patutkah aku berlutut
kepadamu, hai manusia busuk? Jika aku turuti kemauanmu, tentu aku termasuk manusia yang
amat bodoh."
Baru saja kata-kata itu terhenti, sepatu lars Roberto sudah mendarat diwajahnya.
Laki-laki itu terhuyung. Kemudian jatuh terkapar di lantai penjara dengan wajah
bersimbah darah. Ketika itulah dari saku baju penjaranya yang telah lusuh, meluncur
sebuah 'buku kecil'. Adolf Roberto bermaksud memungutnya. Namun,tangan sang Ustadz
telah terlebih dahulu mengambil dan menggenggamnya erat-erat. "Berikan buku itu, hai
laki-laki dungu!" bentak Roberto. "Haram bagi tanganmu yang kafir dan berlumuran dosa
untuk menyentuh barang suci ini!" ucap sang ustadz dengan tatapan menghina pada
Roberto. Tak ada jalan lain, akhirnya Roberto, mengambil jalan paksa untuk mendapatkan
buku itu.
Sepatu lars berbobot dua kilogram itu ia gunakan untuk menginjak jari-jari tangan sang
ustadz yang telah lemah. Suara gemeretak tulang yang patah terdengar menggetarkan hati.
Namun tidak demikian bagi Roberto.Laki-laki bengis itu malah merasa bangga mendengar gemeretak tulang yang terputus.
Bahkan 'algojo penjara'itu merasa lebih puas lagi ketika melihat tetesan darah mengalir
dari jari-jari musuhnya yang telah hancur.
Setelah tangan renta itu tak berdaya, Roberto memungut buku kecil yang membuatnya
penasaran. Perlahan Roberto membuka sampul buku yang telah lusuh. Mendadak algojo itu
termenung. "Ah...sepertinya aku pernah mengenal buku ini. Tapi kapan? Ya, aku pernah
mengenal buku ini." suara hati Roberto bertanya-tanya.
Perlahan Roberto membuka lembaran pertama itu. Pemuda berumur tiga puluh tahun itu
bertambah terkejut tatkala melihat tulisan-tulisan "aneh" dalam buku itu. Rasanya ia
pernah mengenal tulisan seperti itu dahulu.Namun, sekarang tak pernah dilihatnya di bumi Spanyol. Akhirnya, Roberto duduk
disamping sang ustadz yang telah melepas nafas-nafas terakhirnya. Wajah bengis sang
algojo kini diliputi tanda tanya yang dalam. Mata Roberto rapat terpejam. Ia berusaha
keras mengingat peristiwa yang dialaminya sewaktu masih kanak-kanak.
Perlahan, sketsa masa lalu itu tergambar kembali dalam ingatan Roberto. Pemuda itu
teringat ketika suatu sore di masa kanak-kanaknya terjadi kericuhan besar di negeri
tempat kelahirannya ini.

************ ********* ********* ********* ********* ******

Sore itu ia melihat peristiwa yang mengerikan di lapangan Inkuisisi (lapangan tempat
pembantaian kaum muslimin di Andalusia ). Di tempat itu tengah berlangsung pesta darah
dan nyawa. Beribu-ribu jiwa tak berdosa berjatuhan di bumi Andalusia . Di hujung kiri
lapangan, beberapa puluh wanita berhijab (jilbab)digantung pada tiang-tiang besi yang
terpancang tinggi. Tubuh mereka bergelantungan tertiup angin sore yang kencang, membuat
pakaian muslimah yang dikenakan berkibar-kibar di udara. Sementara, ditengah lapangan
ratusan pemuda Islam dibakar hidup-hidup pada tiang-tiang salib, hanya karena tidak mau
memasuki agama yang dibawa oleh para rahib.
Seorang bocah laki-laki mungil tampan, berumur tujuh tahunan, malam itu masih berdiri
tegak di lapangan Inkuisisi yang telah senyap. Korban-korban kebiadaban itu telah
syahid semua. Bocah mungil itu mencucurkan air matanya menatap sang ibu yang terkulai
lemah ditiang gantungan. Perlahan-lahan bocah itu mendekati tubuh sang ummi yang sudah
tak bernyawa, sembari menggayuti ibunya. Sang bocah berkata dengan suara parau, "Ummi,
ummi, mari kita pulang. Hari telah malam, bukankah ummi telah berjanji malam ini akan
mengajariku lagi tentang alif, ba, ta, tsa....? Ummi,cepat pulang ke rumah ummi..."
Bocah kecil itu akhirnya menangis keras, ketika sang ummi tak jua menjawab ucapannya.
Ia semakin bingung dan takut, tak tahu harus berbuat apa. Untuk pulang ke rumah pun ia
tak tahu arah.
Akhirnya bocah itu berteriak memanggil bapaknya " Abi...Abi... Abi..." Namun, ia segera
terhenti berteriak memanggil sang ba pak ketika teringat kemarin sore bapaknya diseret
dari rumah oleh beberapa orang berseragam.
"Hai...siapa kamu?!" teriak segerombolan orang yang tiba-tiba mendekati sang bocah.
"Saya Ahmad Izzah, sedang menunggu Ummi..." jawab sang bocah memohon belas kasih.
"Hah...siapa namamu bocah, coba ulangi!" bentak salah seorang dari mereka. "Saya Ahmad
Izzah..." sang bocah kembali menjawab dengan agak grogi. Tiba-tiba plak! sebuah
tamparan mendarat dipipi sang bocah. "Hai bocah...! Wajahmu bagus tapinamamu jelek. Aku benci namamu. Sekarang kuganti namamu dengan nama yang bagus. Namamu
sekarang 'Adolf Roberto' ..Awas! Jangan kau sebut lagi namamu yang jelek itu. Kalau kau
sebut lagi nama lamamu itu, nanti akan kubunuh!" ancam laki2 itu. Sang bocah meringis
ketakutan, sembari tetap meneteskan air mata. Anak laki-laki mungil itu hanya menurut
ketika gerombolan itu membawanya keluar lapanganInkuisisi. Akhirnya bocah tampan itu hidup bersama mereka.
************ ********* ********* ********* ********* *******
Roberto sedar dari renungannya yang panjang. Pemuda itu melompat ke arah sang tahanan.
Secepat kilat dirobeknya baju penjara yang melekat pada tubuh sang ustadz. Ia
mencari-cari sesuatu di pusar laki-laki itu. Ketika ia menemukan sebuah 'tanda hitam'
ia berteriak histeris, "Abi...Abi.. .Abi..." Ia pun menangis keras, tak ubahnya seperti
Ahmad Izzah dulu.
Fikirannya terus bergelut dengan masa lalunya. Ia masih ingat betul, bahwa buku kecil
yang ada di dalam menggamannya adalah Kitab Suci milik bapanya, yang dulu sering dibawa
dan dibaca ayahnya ketika hendak menidurkannya. Ia jua ingat betul ayahnya
mempunyai'tanda hitam' pada bahagian pusar. Pemuda beringas itu terus meraung dan
memeluk erat tubuh renta nan lemah. Tampak sekali ada penyesalan yang amat dalam atas
ulahnya selama ini.Lidahnya yang sudah berpuluh -puluh tahun alpa akan Islam, saat itu
dengan spontan menyebut, "Abi.. aku masih ingat alif, ba, ta, tsa..." Hanya sebatas
kata itu yang masih terekam dalam benaknya.
Sang ustadz segera membuka mata ketika merasakan ada tetesan hangat yang membasahi
wajahnya. Dengan tatapan samar dia masih dapat melihat seseorang yang tadi menyiksanya
habis-habisan kini tengah memeluknya.
"Tunjuki aku pada jalan yang telah engkau tempuhi Abi,tunjukkan aku pada jalan itu..."
Terdengar suara Roberto memelas. Sang ustadz tengah mengatur nafas untuk berkata-kata,
ia lalu memejamkan matanya. Air matanya pun turut berlinang. Betapa tidak, jika sekian
puluh tahun kemudian, ternyata ia masih sempat berjumpa dengan buah hatinya, di tempat
ini. Sungguh tak masuk akal. Ini semata-mata buktikebesaran Allah.
Sang Abi dengan susah payah masih bisa berucap." Anakku, pergilah engkau ke Mesir.
Disana banyak saudaramu. Katakan saja bahwa engkau kenal dengan Syaikh Abdullah Fattah
Ismail Al-Andalusy. Belajarlah engkau di negeri itu," Setelah selesai berpesan sang
ustadz menghembuskan nafas terakhir dengan berbekal kalimah indah "Asyahadu anla
Illaaha ilallah,waasyhadu anna Muhammad Rasullullah. ." Beliau pergi dengan menemui
Rabbnya dengan tersenyum, setelah sekian lama berjuang dibumi yang fana ini.
Kini Ahmad Izzah telah menjadi seorang alim di Mesir. Seluruh hidupnya dibaktikan untuk
agamanya, 'Islam', sebagai ganti kekafiran yang di masa muda sempat disandangnya.
Banyak pemuda Islam dari berbagai penjuru berguru dengannya... " Al-Ustadz Ahmad Izzah
Al-Andalusy.

Benarlah firman Allah...

"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah,tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu. Tidak ada perubahan atas fitrah Allah. Itulah agama yang lurus,tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui."(QS 30:30)

(sumber : email yang dikirim Abi kiky)


terima kasih


4215

0 Comments:

Post a Comment

<< Home